Pemerintah tampaknya cemas secara berlebihan atas fenomena Twitter dan Facebook yang makin marak di tengah mencuatnya berbagai persoalan sosial di Tanah Air. Pandangan itu muncul dari mantan aktivis ITB Ir Sukmadji Indro Tjahyono, mengingat selama inisebelum terjadi revolusi Mesir, Twitter dan Facebook menjadi ruang publik yang bebas dari pantauan intelejen.
Badan Intelijen Negara (BIN) sangat khawatir dengan jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Belajar dari fenomena di Mesir, media seperti itu bisa menjadi sarana komunikasi aksi demonstrasimenggulingkan Presiden Hosni Mubarak.
“Kecemasan dan paranoid sudah menghinggapi penguasa. Hal ini melihat melihat revolusi di Mesir yang juga ada peran Twitter dan Facebook,” imbu Indro Tjahyono.
Gelombang demonstrasi dan protes baru-baru ini di Mesir telah dijuluki sebagai 'revolusi Facebook' atau ‘revolusi Twitter’, merujuk ke situs jejaring sosial yang digunakan sebagai media untuk pengorganisasian demonstrasi. Sebuah penerbit AS memilih menggunakan tweeter saat demonstrasi untuk mengabadikan sejarah tersebut.
Memang peran Twitter,dalam pengunduran diri Presiden Mesir Hosni Mubarak masih diperdebatkan. Tapi tidak ada perdebatan bahwa platform microblogging tersebut membantu menceritakan kisah revolusi seperti yang diungkapkan dalam sebuah buku yang diberi judul "Tweets from Tahrir" (Kicauan dari Tahrir).
Peneliti dari Imparsial, Junaedi Simun mengatakan jika Badan Intelijen Negara (BIN) benar-benar melakukan pengawasan dan penyadapan terhadap jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, maka BIN sudah masuk ke ranah privasi rakyat. Jejaring sosial Twitter dan Facebook dinilai berperan penting dalam revolusi di Mesir.
Tak mengherankanjika pemerintah AS melalui berbagai kedutaan besarnya, akan rajin pasang mata terhadap social media untuk menangkap opini publik di berbagai Negara, termasuk di Indonesia. Mengingat bahwa pengguna Facebook dan Twitter salah satu yang terbesar di dunia. AS sadar kalau social media ini sangat penting. AS mencoba mengikutinya seperti mengikuti media konvensional lainnya.
Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel malah yakin bahwa ke depannya, social media akan berperan lebih penting untuk membentuk opini publik. Tidak jauh-jauh, Indonesia adalah contoh nyata kekuatan social media. "Lihat saja di Indonesia, pengguna Facebook dan Twitter salah satu yang terbesar di dunia," jelasnya Februari lalu.
Imparsial mencurigai tindakan BIN ini sebagai langkah awal untuk memblokir dan melarang pengunaan Facebook dan Twitter selamanya. "Saya khawatirnya langkah awal pemerintah lewat BIN untuk bisa saja melarang Twitter dan FB," tegas Juanedi Simun dari Imparsial.
Lebih jauh Imparsial menyatakan, BIN maupun pemerintah tidak perlu khawatir jika media jejaring sosial ini digunakan untuk menghimpun pergerakan massa, jika memang hal itu yang menjadi salah satu kekhawatiran.
"Selama pemerintah melakukan kinerja yang bagus, rakyat pasti mendukung kok. Selama ini jejaring sosial lebih banyak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang baik, seperti koin untuk Prita, ini menunjukan tipikal dan karakteristik masyarakan Indonesia berbeda dalam memanfaatkan jejaring sosial ini," ujar Junaedi.
Sebelumnya, Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto mengatakan akan memantau akun jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook yang mengarah pada teror dan subversif. "Yang membahayakan tentu akan kita pantau," ujar Sutanto, di DPR, Selasa(22/3).
Maksud pemantauan itu, lanjut mantan Kapolri ini, bukan untuk memata-matai interaksi masyarakat di jejaring sosial. Hanya saja, BIN melakukan langkah antisipatif jika ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan jejaring sosial yang menggunakan untuk provokasi.
Ref:http://nasional.inilah.com/read/detail/1351912/efek-revolusi-mesir-ke-ri
0 comments:
Posting Komentar