Warung Bebas

Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Jumat, 02 September 2011

Pantas dan Wajarkah Gelar Doktor Bagi Raja Arab Saudi?

raja arab saudi Penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa/HC) kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia menuai protes dari beberapa kalangan di dalam negeri.

Rektor UI (Universitas Indonesia), Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri yang menganugerahkan gelar tersebut kepada Raja Abdullah bin Abdul-Azis 21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan, dikritik dengan berbagai tudingan miring.

Munculnya protes itu bisa dipahami. Sebab dalam beberapa tahun terakhir ini, eksistensi Arab Saudi di Indonesia, sedang kurang populer. Ada dua masalah yang menjadi penyebabnya, soal haji dan kasus pelecehan terhadap TKI yang bekerja di negara tersebut.

Tetapi yang tidak bisa dipahami adalah adanya keterbatasan pengetahuan oleh para pengeritik tentang siapa sebetulnya Raja Arab Saudi. Para pengeritik telah meremehkan kontribusi Raja Abdullah bagi kepentingan umat manusia, tanpa kecuali.

Padahal para pengeritik rata-rata punya gelar akademik, cermin bahwa mereka memiliki pengetahuan umum dan wawasan yang luas. Para pengeritik nampaknya berpersepsi Raja Abdullah, bukanlah sosok yang tepat dianugerahi gelar kehormatan akademik tersebut.

Pemberian gelar itu tidak memperhitungkan faktor psikologis dan elemen politik. Ini terjadi karena para pengeritik lebih menggunakan persepsi non-akademik berupa steretyope tentang sebuah monarki. Plus pola pikir ala politisi Senayan yang cenderung negatif thinking. Seolah-olah setiap monarki haus kehormatan.

Boleh jadi para pengeritik hanya melihat bahwa Raja Abdullah sebagai salah seorang raja terkaya di dunia. Kecenderungan Raja dan orang kaya, mau membeli apa saja, termasuk kehormatan ataupun gelar kehormatan akademik.

Maka atas dasar itu, dalam rangka memuaskan rasa hausnya atas kehormatan, Raja lantas melakukan ”shopping” ataupun perburuan gelar ke berbagai negara. Hasilnya, ternyata hanya UI yang "menjual" gelar kehormatan. Sehingga terlaksanalah "transaksi" tersebut.

Secara implisit pengeritik menuding Rektor UI melakukan "komersialisasi" atas gelar doktor HC. Jadi bila ini yang menjadi titik tolak dari kritikan atas penganugerahan gelar tersebut, jelas keliru dan fatal. Apalagi jika mencampur adukannya dengan persoalan politik. Sebab sejatinya, dunia akademik punya logika berpikir sendiri dan harus tetap dijaga agar tetap independen.

Persoalan politik, seperti tidak ada campur tangan Raja terhadap TKI terpidana, sehingga terjadi pemancungan, merupakan konteks yang berbeda. Lagi pula yang dipancung bukan hanya warga Indonesia saja, tapi setiap orang yang melanggar hukum, termasuk warga negara Arab Saudi. Hukum Arab Saudi, tidak bisa dlihat dengan kacamata KUHAP.

Terjadinya pemancungan itu juga merupakan kelalaian dan tanggung jawab para diplomat RI ataupun Dubes RI di Arab Saudi. Sebetulnya, jika para pengeritik tidak menggunakan nalar politik, kekeliruan fatal, tidak akan terjadi. Sebab keputusan UI yang diambil tiga tahun lalu itu, sangat tepat. Kegiatan Raja Abdullah pada 2008, sarat dengan usaha-usaha perdamaian.

Predikat Raja Abdullah sebagai promotor perdamaian dunia misalnya, bukanlah hal yang diada-adakan oleh UI. Tetapi fakta itu bahkan sudah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Adalah Presiden Sidang Umum PBB, Miguel D'Escoto yang memberikan pengakuan kepada Raja Abdullah atas inisiatif pribadinya yang mensponsori Dialog Antar Agama yang diselenggarakan badan dunia itu pada 2008.

Dialog 2008 itu dicatat sebagai peristiwa sangat penting. Sebab pada saat itu hubungan antar agama khususnya antara muslim dan non-muslim, sedang sangat sensitifnya.

Pemicunya adalah sikap Presiden AS George Bush yang sangat keras terhadap Islam. Bush tanpa disadarinya, seperti pemimpin yang sedang mendukung kelahiran gerakan "Fundamentalis Kristen" melawan Fundamentalis Islam. Raja Abdullah lalu muncul dengan pendekatan yang lebih konstruktif.

Mula-mula dia berkunjung ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Paulus, pemimpin umat Katolik se-dunia. Kunjungan ataupun pertemuan serupa belum pernah terjadi. Sehingga sejak itu terjadi penurunan suhu panas yang membebani kalangan Muslim dan non-Muslim.

Sukses berdialog dengan "Raja Katolik" se dunia, Raja Abdullah, melanjutkan diplomasinya. Pada tahun yang sama dengan tujuan yang serupa dia melobi Raja Spanyol, pemimpin negara dimana Katolik yang mayoritas bisa hidup rukun dengan Islam minoritas. Hasilnya Raja Spanyol setuju ibukota Madrid, menjadi pertemuan pemimpin agama dari seluruh dunia.

Pekerjaan diplomasi Raja Abdullah, sejatinya dianggap cukup melelahkan. Sebab selain usianya yang sudah cukup tua, persoalan perbedaan agama dan keyakinan bukan hal yang gampang mendialogkannya.

Tetapi pria kelahiran 1923 itu tidak mau berhenti. Baginya menghapus mispersepsi dan miskonsepsi di antara sesama pemeluk agama yang berbeda, mutlak serta sangat mendesak. Sebab yang didamaikan bukan saja pemeluk agama-agama tertua di dunia tetapi termasuk agama yang lahir di wilayah Asia, seperti Hindu, Budha dan Sikh.

Raja yang nama lengkapnya sangat panjang, Abdullah bin Abdul-Azis bin Abdullah Rahman bin Faisal bin Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Saud, lalu djuluki oleh pers Barat sebagai Raja Islam yang moderat. Julukan itu juga bukan untuk pujian "pepesan kosong". Melainkan karena dalam kehidupannya, sikap moderatnya itu telah dia tunjukan secara terbuka.

Dengan Iran, misalnya sikap Raja Abdullah jelas. Ia berdebat sengit soal Palestina. Iran dianggapnya tidak mendorong perdamaian Palestina-Israel. Iran hanya melihat Palestina sebagai persoalan Islam.

"Bukan. Palestina merupakan persoalan Arab. Bukan Islam. Dan anda Iran dari Persia, jangan campur urusan bangsa Arab", tegas Raja Adullah. Bahkan Iran yang membangun kekuatan nuklirnya untuk tujuan perang, dimata Raja Abdullah harus dihadapi dengan tegas.

"Dia seperti ular yang mau menakut-nakuti tetangganya. Maka wajar kalau kepalanya dipotong," seru raja Abdullah. Terhadap Al-Qaedah, juga kurang lebih demikian. Raja menyadari, Al-Qaedah lahir dari seorang warga Arab Saudi yang kaya raya, keluarga bin Laden.

Oleh sebab itu untuk mencegah menularnya ekstrimisme dan terorisme yang menjadi doktrin Al-Qaedah, Raja memerintahkan semua lembaga pendidikan mengajarkan nilai-nilai Islam yang benar. Selain pendidikan hukum Islampun dia minta direformasi.

Raja Abdullah merupakan salah seorang putera dari Raja Abdul Azis, tokoh Islam yang dianggap sebagai pendiri Arab modern. Nilai kekayaan pribadinya ratusan triliun. Ia memiliki 4 isteri dengan 22 anak yang terdiri atas 7 laki-laki dan 15 perempuan.

Salah seorang puterinya, Adila, termasuk wanita modern. Adila merupakan salah satu promotor dari pemberian hak wanita Arab Saudi untuk bisa mengemudi kendaraan sendiri.

Semoga debat pemberian gelar tersebut, tidak berkepanjangan apalagi merusak dasar-dasar Islam modern dan destruktif bagi hubungan Indonesia-Arab Saudi.

sumber : inilah.com

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...